Posted on: February 1, 2021 Posted by: sasya semitari Comments: 0

Beberapa tahun belakangan ini, saya lagi suka menikmati film-film Indonesia yang ringan, ada sisi komedinya, tetapi juga tetap ada pesan bermakna di dalamnya. Beberapa film tersebut di antaranya seperti Cek Toko Sebelah, Imperfect, Laundry Show, Orang Kaya Baru, dan Keluarga Cemara. Di pembukaan tahun baru 2021 ini, ada dua film yang baru saya tonton, dan film tersebut berhasil saya nikmati sampai akhir. Ialah Guru-Guru Gokil dan Aruna dan Lidahnya. Kedua film tersebut lebih ke arah menghibur sih. Ringan dan santai untuk ditonton. Cocok lah untuk mendapat kenyamanan dalam tontonan setelah menjalani rumitnya tahun 2020.

Guru-Guru Gokil terbilang film baru, karena baru dirilis pada tahun 2020 lalu. Semantara, Aruna dan Lidahnya ini terbilang film lama yang telah dirilis pada tahun 2018. Ya, lebih kurang dua tahun setelahnya saya baru menonton dan menikmati film Aruna dan Lidahnya. Ada yang menarik dari film Aruna dan Lidahnya. Entah apakah memang niat tim produksi untuk melakukan ini, tapi melalui film ini, saya seperti mendapat pesan adanya keinginan tim produksi untuk menunjukan kebudayaan dan keberagaman Indonesia. Salah satunya dalam pengenalannya melalui makanan-makanan tradisional Indonesia. Hal ini sangat menarik. Film ini seakan sedikit mengusung konsep semi-dokumenter di dalamnya.

Jadi, secara sederhana, film ini menceritakan tentang Aruna (Dian Sastrowardoyo), seorang epidemiolog yang ditugaskan oleh kantornya untuk riset lapangan terkait data-data yang menunjukan adanya varian baru dari flu burung. Sebagai orang yang juga menggemari beragam makanan, Aruna memutuskan untuk wisata kuliner sambal riset lapangan di beberapa daerah di Indonesia. Niat wisata kuliner sebenernya sudah ada di rencana Aruna sejak lama bersama sahabat laki-lakinya Bono (Nicholas Saputra). Bono yang merupakan seorang chef, ingin menggunakan kesempatan wisata kuliner ini untuk mencari inovasi menu baru untuk restorannya. Akhirnya, diputuskanlah mereka menuju Surabaya untuk menjadi destinasi pertama kuliner mereka dan juga tempat riset Aruna sebagai seorang epidemiolog. Singkat cerita, di sana mereka bertemu teman lainnya, seperti Nadezhda (Hannah Al Rasid)—teman dari Aruna dan Bono yang juga merupakan kritikus makanan dan penulis buku, serta Farish (Oka Antara) teman Aruna dari perusahaan pemerintahan, yakni PWP2 yang juga akan meriset kasus baru flu burung di Indonesia. Dimulai dari Surabaya lah perjalanan mereka ber-4 melakukan riset sambil menikmati kuliner tradisional Indonesia di setiap daerahnya.

Konsep pengenalan budaya—terutama dari segi kuliner tradisional Indonesia ini sih yang menarik perhatian saya. Di dalam cerita, Aruna dan teman-temannya pergi ke beberapa daerah di Indonesia, seperti Surabaya dan Pontianak. Pengenalan kuliner tradisional Indonesia ini menampilkan beberapa makanan, seperti Rawon dari Surabaya; Campor Lorjuk dari Pamekasan, Madura; Pengkang dari Pontianak; dan Choi Pan dari Singkawang. Sebenarnya masih banyak makanan tradisional lainnya yang ditampilkan dalam film tersebut. Tapi, sayangnya beberapa makanan tersebut tidak dituliskan nama makanan dan daerah asalnya. Bahkan, ada satu street food, dengan shoot yang sudah sangat bagus dan seakan difokuskan ke makanan tersebut, tapi tidak ditulis nama makanannya. Padahal, penyajian gambarnya sudah sangat bagus dan berhasil membuat saya pribadi tertarik untuk mengetahui nama makanan tersebut. Tapi ternyata, tim produksi tidak menuliskannya. Untuk beberapa makanan tradisional yang tidak dituliskan namanya, terkadang saya memaklumi, karena pengambilan gambarnya pun seakan tidak menjadikan makanan tersebut sebagai fokus. Sedangkan, street food yang satu itu—yang seperti Sekuteng, di-shoot dengan sangat baik dan seakan menjadi fokus, tapi gagal dijelaskan lebih lanjut dengan informasi nama makanan dan daerah asal.

Sedikit kekurangan lainnya yang saya sayangkan adalah sedikit penjelasan terkait bahan makanan dan/atau makna makanan bagi penikmatnya. Di dalam film tersebut ada dua orang professional, satu ialah Bono—seorang chef dan satunya lagi ialah Nadezhda—seorang kritikus makanan dan penulis. Kehadiran kedua tokoh professional tersebut seharusnya bisa diisi dengan pembuktian keahlian mereka, salah satunya dengan menjelaskan sedikit bahan-bahan yang digunakan dalam hidangan yang mereka makan. Penjelasannya tidak perlu terlalu to the point, tapi bisa dijelaskan sambil makan, seperti, “Ini enak ya, kayak pencampuran dari sambel dan terasinya tuh kawin banget, blablabla.” Jadi, dibarengi dengan dialog keseharian antar teman saja, tapi tetap terlihat pandangan dari sosok profesional, karena saya yakin, lahirnya tokoh chef dan kritikus makanan ya untuk menilai hidangan yang mereka santap. Selain itu, dengan hadirnya 2 tokoh profesional tersebut, saya juga berharap dalam beberapa momen mereka bisa mendefinisikan makna hidangan yang mereka makan. Seorang chef dan seorang kritikus makanan pasti memiliki pandangan serta penilaian atas makanan yang mereka santap dan makna di balik makanan tersebut bagi mereka. Dan lagi-lagi, penjelasan tersebut dapat disampaikan dengan ringan seperti dialog wajar keseharian antar teman. Sebenarnya, ada satu hidangan yang sedikit dibeberkan bahan-bahannya (secara tidak langsung) oleh Bono dan Nadezhda, tapi saying (lagi), makanan tersebut tidak diberi tahu atau ditulis namanya dan dari daerah mana.

Selain terkait makanan—sebab fokus dari film ini memang terasa seperti ingin memperkenalkan kuliner tradisional Indonesia–ada hal menarik lainnya yang secara pribadi saya tangkap. Ialah kebiasaan beberapa masyarakat Indonesia yang tidak percaya atas bahayanya sebuah penyakit dan wabah. Film ini menceritakan dalam kondisi seakan-akan ada virus flu burung dengan varian baru. Wabah virus flu burung sendiri memang pernah terjadi. Tapi, melihat salah satu adegan di film Aruna dan Lidahnya dengan ditonton di tahun ini, alias masa pandemi Covid19, saya seakan melihat realita yang sedang terjadi di lapangan, di Indonesia. Dalam salah satu adegan di Aruna dan Lidahnya ini, ada seorang anak yang sakit, yang dicurigai terpapar virus flu burung varian baru. Sudah beberapa hari dirawat di rumah sakit, akhirnya anak ini dibawa ke rumah secara paksa oleh keluarga, meski sang anak belum sembuh. Saat rumah anak ini didatangi oleh Aruna dan Farish untuk kebutuhan riset, mereka berdua menanyakan bapak dari anak tersebut alasan mengapa sang anak dibawa pulang meski belum sembuh. Sang bapak lantas menjawab, “Sakit itu sudah takdir dari Tuhan. Jadi, si Fajar (sang anak) sakit pun sudah diatur yang atas. Kalaupun mau sembuh, cuman ‘atas’ yang boleh menyembuhkannya.” Pernyataan sang bapak itu sedikit banyak pasti menggambarkan apa yang terjadi di realita kehidupan masyarakat Indonesia saat wabah virus flu burung merabah. Dan sepertinya, hal itu pun masih tergambarkan di masa pandemi Covid19 ini.

Oke, secara keseluruhan film ini ringan dan menghibur. Cocok lah buat saya pribadi yang sudah pusing menghadapi tahun 2020, jadi bisa agak santai karena menonton film Aruna dan Lidahnya ini. Meski ceritanya kurang menantang dari segi konflik dan penyelesaiian masalahnya, tapi saya benar-benar suka dengan konsep semi dokumenter dalam memperkenalkan kuliner tradisional Indonesia ini.

Leave a Comment